Minggu, 16 Desember 2007

Six Years

Pagi hari di SMAN 70 Jakarta…

Sebuah Honda Jazz nongkrong di tempat parkir dengan suara musik rock yang terdengar samar-samar sejak 10 menit yang lalu. Ternyata mobil berwarna biru metalik itu masih ada pemiliknya yang masih sibuk mengotak-atik isi mobilnya.
“Duh… catatan matematika gue di mana yah? bisa gawat kalau sampai ketinggalan!”, dengan wajah panik. Remaja yang juga menggunakan seragam SMU itu pun terus membongkar isi tasnya. Tidak lama kemudian HP yang ada di kantongnya bergetar.

“Sapa lagi nih yang nelpon pagi-pagi?!”, sambil mengocek HP yang ada di kantongnya.

“Oh… ternyata orang rumah. Halo… sapa nih? Mama… kenapa ma? apa?! Catatan matematika Ardhy ketinggalan di meja makan??! Tamat deh riwayat Ardhy!”, wajahnya mulai pucat.

`“Oke ma… sekarang minta tolong sama Mas Nico dititipin ama siapa aja. Yang jelasnya orang itu berseragam sekolah. Dan jangan lupa ma, bilang kalau buku itu kepunyaan Ardhy. Makasih yah ma…. mmmuuaachh!”, setelah Ardhy menutup teleponnya, bel sekolahpun berbunyi panjang, menandakan bahwa pelajaran pertama segera dimulai.

Ardhy adalah Remaja yang berumur 17 tahun, dan salah satu murid kelas 3 di SMA 70 Jakarta. Dia anak yang serba berkecukupan, ditambah lagi dengan wajahnya yang bisa dijadikan sampul majalah, alias cover boy. Gak heran kalau di sekolahnya dia terkenal dan banyak cewek yang naksir dengannya. Walaupun begitu, dia tetap tidak sombong dan bergaul sama siapa saja.

Setelah menutup pintu mobilnya, dia segera berlari menuju pintu gerbang. Tapi di sana dia malah ditahan oleh Pak Jaya, satpam sekolahnya.
“Sudah berapa kali kamu terlambat?”, gertak Pak Jaya dengan wajah beringas kepada Ardhy.

“Gak… gak banyak kok pak…”, Ardhy pun tergagap.

“Iya! Berapa kali?!”.

“Baru 3 kali kok pak”.

“3 kali???!”, nada bicara Pak Jaya makin tinggi.

“Iya… maksud saya dalam minggu ini... kalau ditambah dengan yang kemren-kemaren gak tau deh pak.”.

“Nama kamu Ardhy kan?”.

“Iya pak, memangnya kenapa? Tau dari mana? Pasti karena saya terkenal kan pak…?”.

“Bukan bodoh! Papan nama kamu!”, sambil menunjuk ke seragam sekolah Ardhy yang bertuliskan Ardhy Pratama.

“Oh… maaf deh pak, trus saya mau diapain pak? Mau disuruh pungut sampah? Disuruh push-up? Lari keliling lapangan? Atau…”, belum sempat melanjutkan, pembicaraan Ardhy langsung dipotong oleh Pak Jaya.

“Sudah sana masuk! Saya bisa-bisa sakit kepala kalau tetap mendengarkan ocehan kamu!”.

“Oke deh pak… makasih yah...”, Ardhy pun langsung berlari menuju kelasnya sementara murid lainnya yang terlambat tetap diinterogasi oleh Pak Jaya.

* * *

Sesampainya di kelas, Ardhy langsung duduk di bangku, masih dengan nafas yang ngos-ngosan. Rupanya teman sebangkunya, Aldo, sudah ada terlebih dahulu di kelas sambil main game di HPnya.

“Dari mana aja lo Dhy? Ngos-ngosan kayak gitu, jalan kaki dari rumah yah? Mang mobil lo masuk bengkel?”, sapa Aldo kepada Ardhy sesaat setelah teman sebangkunya baru saja duduk di sampingnya.
“Enak aja lo, gue terburu-buru karena takut telat goblok! Lagian kenapa guru Kimia kita yang terkenal gak pernah absent malah gak masuk? Apa dia sakit?”.

“Ada deh…”, jawab Aldo dengan santainya dan masih terus memencet tombol Hpnya.

“Trus kamu ngapain masih santai kayak gini? Entar kan ada ulangan Fisika”, Ardhy terus bertanya kepada Aldo dengan pensaran sambil membuka buku catatan Fisikanya.

“Gue jelasin yah, baru aja tuh ada pemberitahuan kalau besok tuh bakalan ada tamu dari luar negeri yang bakalan datang ke sekolah kita, trus hari ini guru-guru pada rapat di ruang guru, so kita pulang cepat deh. By the way, kok hari ini wajah lo tampak cerah banget? Gak seperti biasanya”.

“Gak seperti biasanya kayak gimana maksud lo?”.

“Yah iya… biasanya kan lo datang, langsung memandang Rashya, trus ngeluh “kapan yah Rashya bisa menjadi pacar gue…?” lalu melamun seharian deh”, sambil menirukan gaya Ardhy dengan penuh semangat.

“Lo ngeledek yah?!, bukannya gitu friend… mang kamu dah lupa kalau minggu depan udah acara perpisahan sekolah kita?”.

“Trus…”, dengan nada mengejek sambil menghentikan permainan gamenya dan menatap Ardhy dengan serius.

“Untuk pertama kalinya gue mau nembak cewek”, topic pembicaraan Ardhy dan Adlo berganti menjadi serius.

“Sapa? Rashya yah?”.

“Gak, tapi pembokat lo! Yah Rashya lah… mang sapa lagi? Dasar lambat loading!”, sambil mendorong kepala Ardhy.

“Hah…? Gue kira tuh lo udah nembak dia, trus lo ditolak ma dia, trus lo akhirnya frustasi dan menjadi homo, so cewek siapapun yang nembak lo selalu lo tolak”. wajah Aldo menjadi heran.

“Pikiran lo kok sejauh itu sih? Kalau gue homo, udah lama gue pacaran dengan lo tau!”, sekali lagi mendorong kepala Aldo.

“Trus cara lo nembak dia nanti gimana? Kasih tau gue dong…”

“gini…”, pembicaraan mereka terus berlanjut.

Di tempat lain dua cewek cantik juga berbicara yang kelihatannya lumayan serius…

“Shya, apa kamu gak sadar kalau si Ardhy itu suka ma kamu?”, Vira bertanya serius kepada Rashya yang juga teman sebangkunya.

“Mangnya kenapa? Tumben kamu nanyain dia”. Rashya pun mulai merespon.

“Soalnya dia pernah curhat ma saya, dia bilang, kok kamu gak pernah respon ma dia?”.

“Bukannya gak mau respon, saya takutnya kalau dia ke GR an dan berharap banyak dari saya”.

“Memangnya ada apa sih? apakah kamu udah punya pacar? Sapa? Kamu kok gak pernah bilang-bilang ma saya?”.

“gak ada sih, saya saya sudah terlanjur berkomitmen bahwa saya gak bakalan pacaran sama siapapun kalau saya tuh belum lulus SMA”.

“Kenapa juga kamu ngeluarin statement seperti itu?”.

“Untuk nolak secara halus sewaktu cowok di sekolah ini nembak saya”. Rashya berkata demikian sambil membayangkan betapa banyaknya cowok yang nembak dia. Di sekolahnya dia memang termasuk diva. Karena dia memang cantik dan lumayan tenar di sekolahnya.

“Oh… gitu yah… tapi sejak kapan kamu tau kalau dia tuh suka banget ma kamu?”. Vira terus melontarkan pertanyaan kepada Rashya.

“Yah tau lah… dia kan udah sekelas ma saya sejak kelas 1 SMP”.

“Hah??? Masa sih? Jodoh kali… hehehe”, Vira menyempatkan sedikit becanda di sela keseriusannya.

“Au ah… ngomong-ngomong ganti topic aja deh. Hmmm… sejauh ini, persiapan kamu untuk perpisahan gimana?”, wajah Rashya menjadi merah dan langsung mengganti topic pembicaraan.

“Oh… kalau msalah itu sih gampang aja. Gini, entar sore saya mau ke Mal cari baju, mau nemenin Vira gak?”.

“Hmm… boleh deh, tapi setelah saya latihan dance ma anak-anak yah”.

Di kelas 3 Ipa 5 tersebut terlihat santai-santai saja dan melanjutkan aktivitas pribadi masing-masing, terkecuali Ardhy dan Aldo yang masih saja serius.
“Al, sore ini lo ada acara nge-date ma pacar lo gak?”, Ardhy bertanya kepada Aldo.

“Gak ada, mang napa? Mau ngajakin gue nge-date?”, Aldo menjawab pertanyaan Ardhy dengan wajah penuh curiga.

“Sapa juga… gue mau ngajakin lo jalan-jalan ke Mal, hitung-hitung refreshing sekalian cari baju buat perpisahan nanti”.

“Hahaha… boleh deh, tapi lo ntraktir gue nonton dan makan kan…?”.

“Kamu ini, kapan sih saya gak traktir kamu, yang ada tuh kamu yang minta di traktir mulu!”.

“Ye… lain kali saya yang bayar deh… okey… lo emang sobat gue…”.

* * *

Satu minggupun berlalu dengan hari-hari yang amat dirasakan oleh Ardhy, karena malam perpisahan telah ia nanti-nantikan.
“Pakaian sudah lengkap, bunga dah ada, apa lagi yah yang kurang???”, Ardhy mengabsent satu persatu perlengkapan sebelum berangkat ke Promp Night nya. Tapi dia berhenti sejenak untuk berfikir bahwa masih ada satu benda lagi yang kurang.

“Hmm… apa yah? Oh iyah…aku dah ingat, hampir saja benda sepenting itu aku lupa bawa, bisa-bisa gue gak keterima lagi. Benda itu ada di... sini nih…”, sambil membongkar rak bukunya yang lumayan berdebu.

“Nah… sudah ketemu, sekarang berangkat…!”, Ardhy pun keluar dari rumah dan langsung naik ke mobilnya. Tanpa basa basi ia menancapkan gas karena tidak ingin melewatkan sedikitpun acara perpisahannya.

Sesampainya di Hotel Clarion, tempat diadakannya acara penamatan SMAN 70 Jakarta, dia terlihat menoleh kenanan dan kekiri seolah-olah mencari seseorang. Saat melihat seorang remaja seumurannya ia pun teriak.
“Do…! Aldo !!! sini lo! Ada yang pengen gue kasih tau ma lo!”, Ardhy teriak sambil menunjuk Aldo yang sudah hampir memasuki pintu gedung aula tersebut.

“Oh, kamu Dhy, ada apa? Kok gak langsung masuk?”, jawab Aldo sambil mendekati sobatnya.

“Gini, gue ada keperluan dikit”.

“Mangnya ada apa? Kayaknya penting banget deh”.

“Yah iyalah, lo tau kan ini hari apa?”.

“Nenek gue yang pikun juga tau kalau ini hari sabtu”, dengan nada mengejek.

“Yah iyalah, maksud gue bukan itu tau!”, sambil mendorong kepala Aldo, seperti biasanya.

“Trus? Maksud kamu apa sih? Langsung ajah deh pada intinya”, Aldo mulai bosan karena sudah tidak sabar memasuki aula tersebut.

“Gini, lo tau kan kalau hari ini adalah hari yang sangat gue tunggu-tunggu, alias hari dimana gue bakalan nembak Rashya. Dan gue perlu bantuan lo”.

“Bantuin apa? Bantuin nembak Rashya?”.

“Yah bukanlah, entar ditengah-tengah acara sambutan, kamu tolong cariin Rashya dan tolong bilang sama dia kalau gue nungguin dia di lantai tribun yah”.

“Hmmm, kalau nanti dia gak mau gimana?”.

“Kamu jujur aja sama dia, bilangin kalau saya yang nyariin dia dan ada yang penting pengen gue bicaraain ma dia”.

“Yah udah deh. Kalau gitu tunggu apa lagi? Yuk kita masuk! MC nya dah ada tuh”, sambil menarik tangan Ardhy dan berjalan memasuki pintu gedung.

Tanpa aba-aba, acara penamatanpun dimulai, dan tidak terasa sudah berada diacara penyambutan. Di lantai tribun Ardhy pun sudah tidak sabar menunggu Rashya walaupun detak jantungnya makin lama makin kencang seiring dengan pidato demi pidato yang dilemparkan oleh Kepala Sekolah. Benda yang sangat penting menurut Ardhy itu masih dia pegang dan mulai basah karena keringatnya.
“Shya, bisa ikut saya sebentar gak?”, Aldo langsung saja menerobos di antara Vira dan teman kelas yang lainnya.

“Memangnya ada apa? Ada masalah penting yah?”, Rashya terkaget dan spontan menjawab Aldo dengan wajah yang ketakutan.

“Iya nih, penting banget. Please…”, Aldo merubah nada bicaranya dengan nada bermohon.

“Memangnya masalah hidup dan mati yah?!”.

“Pokoknya lebih parah dari itu deh…!”.

“Do! Kamu ini kenapa sih?! Maksa orang ajah”, Vira mulai turun tangan karena merasa temannya sudah terdesak.

“Waduh Vir, kamu tenang aja deh, teman kamu gak bakalan gue apa-apain kok. Ini loh… masalah itu tuh…”, Aldo pun mulai melemparkan kode rahasia kepada Vira.

“Oh… iya deh gue ngerti”, Vira pun mulai tersenyum.

“Kalian berdua ini kenapa sih? Sebenarnya ada apa?”, Rashya makin penasaran.

“Udah deh, sekarang kamu ikut dengan aku yah. Saya jamin deh, kamu gak bakalan nyesel kok, sumpah!”, dengan wajah yang meyakinkan.

“Iya Shya, kamu pergi gih sana. Saya yang tanggung jawab deh”, Vira pun ikut membujuk.

“Hmmm, oke deh gue mau. Awas loh kalian berdua kalau gue ada apa-apanya”.

Akhirnya Aldo berhasil membujuk Rashya untuk naik ke tribun, walaupun selama perjalanan menuju tribun Rshya terus saja bertanya-tanya.

* * *

“Udah deh Shya, sekarang lo lihat orang yang duduk di pojok itu kan? Sekarang juga lo samperin dia”, setelah berbicara dengan Rashya, Aldo kembali turun dan meninggalkannya.
“Tapi Do, Aldo!”, suara Rashya tidak di perdulikan lagi dengan Aldo. Setelah itu dia menoleh ke belakang dan memperhatikan dengan seksama orang yang ditunjuk oleh Aldo. Dia berjalan perlahan-lahan menuju orang tersebut dan berusaha melihat dengan jelas karena lampu di sekitar kurang terang. Rashya pun tiba disebelah orang tersebut.

“Ardhy? Ada apa Dhy?”, Rashya langsung mengenali Ardhy dan terpaku melihat penampilan Ardhy yang tidak seperti biasanya.

“Eh kamu Shya, dah ada kamu rupanya. Duduk di sini Shya”, sambil menyodorkan kursi untuk duduk di sampingnya.

“Ada masalah penting yah Dhy? Memangnya tentang apa?”

“Tentang kita berdua”, tanpa basa-basi, Ardhy langsung saja menarik pokok pembicaraan pada intinya.

“Tentang kita berdua? Maksud kamu apa?”.

“Gini Shya, sebelumnya aku mau tanya ma kamu. Kamu masih ingat kan kita sekelas udah berapa lama?”.

“Yah iyalah Dhy, saya gak pikun-pikun amat kok. 6 tahun kan?”.

“Ya, selama itulah saya memendam perasaan saya kepada kamu”.

“Perasaan apa?”.

“Iya Shya, saya sayang banget sama kamu…”, Ardhy pun langsung memegang kedua tangan Rashy

“Apa? Kamu memendam perasaan sayang kamu selama 6 tahun? Tapi…”, Rashya langsung menarik tangannnya dari genggaman Ardhy.

“Tapi apa Shya? Sekarang saya hanya ingin kamu mengetahui perassan saya selama ini”, Ardhy kembali menarik tangan Rashya.

“Tapi kenapa kamu mesti bilangnya baru sekarang ini? Kenapa gak dari kemarin-kemarin?”.

“Bukannya gak mau, tapi aku selalu gak dapat kesempatan dari kamu…”.

“Kesempatan yang bagaimana maksud kamu”.

“Sejak SMP kan banyak cowok yang nembak kamu, trus setiap kali saya mau menyatakan perasaan saya, saya selalu didahului oleh orang lain”.

“Kita kan juga sama SMA tau, kenapa bukan waktu tahun lalu atau dua tahun lalu gitu?!”.

“Waktu itu aku pengen nembak kamu, tapi sebelumnya aku curhat dulu ma Vira, trus kata Vira kamu dah punya pendirian kalau kamu gak bakalan pacaran selama masih SMA. So, saya memilih hari ini, karena status kamu sekarang ini sudah bukan anak SMA lagi”, Ardhy berusaha menjelaskan dengan lembut..

“Oh, kalau masalah itu aku juga sudah terangin ma Vira, kalau sebenarnya saya sengaja mengeluarkan statement begitu supaya gak ada cowok yang nembak saya…”.

“Tapi kenapa kamu mesti ngeluarin kata-kata demikian?”.

“Karena saya tidak mau kalau orang yang saya tunggu-tunggu selama ini untuk menembak saya tidak mempunyai kesempatan lagi”.

“Orang? Orang siapa?”.

“Yah begitulah, karena kebodohanku mengeluarkan kata-kata yang macam-macam, orang itu baru bias nembak sekarang”.

“Maksud kamu siapa? Kapan kamu punya pacar?”, dengan wajah yang pura-pura bodoh dan seolah dibuat-buat.

“Yah kamu lah, dan sejak kapan aku punya pacar? Yah sejak hari ini, jam ini, menit ini, dan detik ini juga aku menerima kamu sebagai pacar aku”.

“Apa? Astaga... gue gak nyangka banget loh. Akhirnya gue keterima. Do...! Aldo!!! Gue diterima Do!”, Ardhy berteriak di tengah-tengah acara pemberian pin alumni. Semua orang berpaling pada Ardhy dan dia langsung tertunduk malu. Tanpa sadar hanya mereka berdua yang belum baris untuk megambil pin alumni tersebut.

“Dhy, by the way, yang di tangan kamu itu apa?”, sambil melirik benda yang sedari tadi masih di pegang oleh Ardhy.

“Oh... ini, bukan apa-apa kok Shya, gak penting”, sambil berusaha menyembunyikan barang tersebut.

“Sini gue pengen lihat”, Rashya pun mengambil benda tersebut yang merupakan secarik kertas yang tulisannya penuh dengan kata-kata romantis.

“Wah…kata-katanya bagus banget, ini untuk siapa Dhy?”, Rashya bertanya kepada Ardhy.

“Itu sebenarnya surat cinta pertama aku waktu masih SMP. Tadinya pengen ngasih kamu sih, tapi keburu ama anak-anak yang lainnya. Jadi, masih gue simpan deh”.

“Hahaha, oh,,, eh, turun yuk, entar kita gak kebagian pin lagi. Awas loh, entar gak jadi alumni lagi”. Sambil menarik tangan Ardhy untuk turun dan antri bersama teman yang lainnya.

Itu adalah hari paling bahagia yang di rasakan oleh Ardhy selama 6 tahun terakhir ini. Ternyata penantian yang begitu lama dan penuh kesabaran dapat membuahkan hasil lebih dari apa yang diharapkannya selama ini. Mereka berdua juga memberikan gambaran kepada kita, bahwa kesabaran itu gak ada batasnya dan pasti akan memberikan hasil yang memuaskan. Kita juga harus terus berusaha dan jangan terlalu cepat mengambil keputusan untuk berkata ‘menyerah’.

* * * SEKIAN * * *

May i Save My World ?

Begitu terjaga dari tidur, mataku langsung tertuju pada kotak bergambar yang berada di depanku. Saya tak menyadari kalau tv di kamarku sudah dalam keadaan hidup sejak malam hari dan saya lupa untuk mematikannya karena terlalu lelap dan tertidur.

Kutonton salah satu acara di stasiun tv vaforitku. Di sana dibahas mengenai ‘global warning’, apa yang menyebabkan apa efek yang ditimbulkan, dan akibat yang akan terjadi nantinya. Kupaksa mata yang masih begitu berat untuk menontonnya. Yang kuliaht saat itu tidak jauh beda dengan film yang pernah kutonton waktu masih duduk di kelas 3 SMP yang berjudul “The Day After Tomorrow”.

Melintas dalam fikiranku, apakah akhir dari dunia ini bakalan sama dengan akhir dari film tersebut? Dalam film mengisahkan kalau bencana akan terjadi secara beruntun dan karena pengaruh pemanasan global, es di kutub akan mencair dan menyebabkan volume air laut menjadi bertambah. Kemudian akan muncul gelombang raksasa dari arah utara dan menenggelamkan semua benua yang letaknya di utara bumi. Lalu di langit terbentuk sebuah mata kutub yang dalam sepersekian detik dapat menyebabkan sesuatu membeku karena suhunya yang beratus-ratus dibawah nol derajat. Kemudian terjadilah peradaban atau zaman es baru.

Fikiranku melayang jauh dan akhirnya sampai disebuah khayalan bagaimana kalau seandainya itu benar-benar terjadi? Pertanyaan yang membuat diriku gemetar,”dimanakah berada diriku pada masa itu?”. Semua orang pasti takut dan tak ingin itu terjadi, tapi mengapa tingkah manusia malah semakin menjadi-jadi?.

Indonesia bisa saja berbangga karena Bali dijadikan sebagai tempat dibicarakannya KTT yang membahas masalah ‘Global Warning’. Tapi sebenarnya Indonesia dipilih karena Indonesia menjadi nomor 1 di Asia dan peringkat ke tujuh di dunia yang menyebabkan efek rumah kaca. Ku kembalikan lagi pada diriku sendiri. Tindakan apa yang sudah ku perbuat untuk menyalamatkan bumiku dari sebuah kepunahan?

Sekarang bagiku film "The Day After Tomorrow" sudah bukan lagi film yang wajib tonton dengan alasan segi cerita dan animasi yang keren. Tapi diwajibkan untuk ditonton agar manusia menyadari apa yang telah mereka lakukan dan akan melihat apa akibat dari perbuatannya...